Pedagang dan pasar tradisional kian terjepit oleh ekspansi usaha ritel modern. Dalam rentang waktu tahun 2003-2008, pertumbuhan gerai ritel modern fantastis, yaitu mencapai 162 persen.
Bahkan, pertumbuhan gerai minimarket mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008, sementara jumlah pasar tradisional dalam kurun lima tahun tersebut cenderung stagnan.
Pesatnya pertumbuhan ritel modern itu seiring gencarnya penetrasi ritel asing ke Indonesia. Data BisInfocus 2008 menyebutkan, jika pada tahun 1970-1990 pemegang merek ritel asing yang masuk ke Indonesia hanya lima, dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 sudah 14 merek ritel asing yang masuk, dengan 500 gerai. Tahun 2008, merek ritel asing yang masuk sudah 18, dengan 532 gerai.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, gencarnya ritel asing masuk ke Indonesia karena aturan yang ada memang sangat terbuka. ”Jadi, mereka tidak melanggar aturan. Aprindo pun tak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Namun, Direktur Hubungan Korporat PT Carrefour Indonesia Irawan D Kadarman membantah bahwa ritel modern makin ekspansif belakangan ini. Menurut dia, pembukaan gerai baru Carrefour justru menurun jumlahnya. ”Tahun 2006 Carrefour Indonesia membuka sembilan gerai. Tahun-tahun berikutnya tak sebanyak itu,” katanya.
Saat ini jumlah gerai yang di bawah manajemen Carrefour Indonesia ada 46 gerai, sementara yang di bawah PT Alfa Retailindo Tbk berjumlah 33 gerai. Carrefour mengakuisisi Alfa Retailindo.
Keluhan dari kalangan pedagang di pasar tradisional atas gencarnya penetrasi ritel modern sudah sering dilontarkan. Di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, misalnya, hampir semua pedagang di pasar itu mengeluhkan turunnya omzet mereka sejak ritel dan pasar modern berdiri di sepanjang Jalan Malioboro, yang menjadi lokasi Pasar Beringharjo.
Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Provinsi DI Yogyakarta menyebutkan, dalam periode tahun 2002-2006 jumlah pasar modern di DIY tumbuh lebih dari 55 persen. ”Omzet pedagang pasar tradisional rata-rata turun 35 persen dibanding tahun 2006,” kata Ketua Forum Silaturahmi Peguyuban Pasar Seluruh Kota Yogyakarta Ujun Junaedi.
Hasil kajian Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, kehadiran satu toko ritel waralaba modern membuat setidaknya omzet 14 pedagang grosir merosot, apalagi saat ini banyak pasar dan ritel modern yang didirikan di dekat pasar tradisional. ”Bahkan, satu toko swalayan yang menyediakan aneka komoditas kebutuhan rumah tangga berdiri tepat di belakang Beringharjo. Pedagang Beringharjo sempat berang, tapi tak bisa berbuat apa-apa,” kata Ujun.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan potensi bagi pasar ritel. Apalagi, kata Tutum, gaya hidup masyarakat dalam berbelanja mulai beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Dengan demikian, mengembangkan pasar ritel modern adalah peluang bisnis yang menjanjikan.
”Dan setiap pebisnis ritel selalu berdalih bahwa untuk pengembangan usaha dibutuhkan dana segar. Ironisnya tidak ada investor lokal yang kuat bersaing dengan asing. Akibatnya, kepemilikan saham sedikit demi sedikit dimiliki investor asing,” kata Tutum.
Oleh karena itu, jika ingin melindungi pedagang ritel tradisional, kuncinya ada pada regulasi pemerintah. ”Semestinya Indonesia menerapkan sistem investasi dengan perencanaan yang matang, seperti di China. Investor asing bukan hanya harus bermitra dengan pengusaha lokal, tetapi juga menerapkan sistem deposit sebelum rencana bisnis dilakukan,” tutur Tutum.
Dengan aturan itu, lanjut Tutum, kalau investor asing berencana membuka toko, nilai investasi yang harus dideposit sudah ditentukan terlebih dahulu. Uang deposit itu dapat digunakan sebagai jaminan apabila kebijakan pemerintah menyangkut usaha kecil dan menengah (UKM) sebagai pemasok pasar modern dilanggar oleh investor asing.
Pentingnya regulasi pemerintah juga disampaikan Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (DPD Aprindo) Jawa Tengah Budi Handojo Soeseno. Regulasi itu tidak hanya untuk menciptakan persaingan bisnis yang adil, tetapi juga untuk mencegah timbulnya gesekan sosial. Peran pemerintah daerah dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan mencegah gesekan sosial, menurut Budi, sangat besar.
Aturan sudah banyak
Sebenarnya peraturan yang mengatur tentang usaha ritel telah cukup banyak. Di tingkat pusat saja setidaknya ada 10 peraturan yang mengatur tentang usaha ritel, mulai dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 118 Tahun 2000 tentang Perubahan dari Keppres No 96/2000 tentang Sektor Usaha yang Terbuka dan Tertutup dengan Beberapa Syarat untuk Investasi Asing Langsung hingga yang terbaru, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern dan Permendag No 53/2008 tentang Pedoman Penataan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
Bahkan, menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, sudah ditetapkan aturan tentang investasi asing di sektor usaha ritel.
”Investor asing hanya boleh masuk di level hipermarket dan supermarket. Luas lahan di atas 1.200 meter persegi, di bawah itu hanya boleh franchise (waralaba) atau waralaba milik orang Indonesia. Untuk minimarket, ada aturan jam buka, yaitu pukul 10.00-22.00. Sementara orang ke pasar hanya sejak subuh hingga sekitar pukul 08.00,” kata Mari.
Namun, kenyataannya aturan jam buka bagi minimarket itu tidak berlaku. Banyak minimarket yang sudah beroperasi sejak pukul 07.00. Bahkan, ada sejumlah minimarket yang kini buka 24 jam dan menjual komoditas segar, seperti sayuran dan bahan pangan lain yang dijual di pasar tradisional.
Peraturan memang sudah cukup banyak, bahkan masih ditambah dengan berbagai peraturan daerah (perda). Kota Solo, misalnya, saat ini menyiapkan dua perda tentang pasar tradisional dan perda tentang pasar modern.
Dalam rancangan perda tentang pasar tradisional, misalnya, diatur kepemilikan kios masing-masing pedagang tak boleh lebih dari empat dan persentase antara jumlah kios dan lapak 70 persen berbanding 30 persen.
Adapun dalam rancangan perda tentang pasar modern, menurut anggota DPRD Kota Solo, Swantinawati, diatur antara lain tentang zonasi daerah, jarak pasar modern dengan pasar tradisional. Namun, faktanya, pasar tradisional tetap terpojok. (Kompas, 15 Maret 2010)
Bahkan, pertumbuhan gerai minimarket mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008, sementara jumlah pasar tradisional dalam kurun lima tahun tersebut cenderung stagnan.
Pesatnya pertumbuhan ritel modern itu seiring gencarnya penetrasi ritel asing ke Indonesia. Data BisInfocus 2008 menyebutkan, jika pada tahun 1970-1990 pemegang merek ritel asing yang masuk ke Indonesia hanya lima, dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 sudah 14 merek ritel asing yang masuk, dengan 500 gerai. Tahun 2008, merek ritel asing yang masuk sudah 18, dengan 532 gerai.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, gencarnya ritel asing masuk ke Indonesia karena aturan yang ada memang sangat terbuka. ”Jadi, mereka tidak melanggar aturan. Aprindo pun tak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Namun, Direktur Hubungan Korporat PT Carrefour Indonesia Irawan D Kadarman membantah bahwa ritel modern makin ekspansif belakangan ini. Menurut dia, pembukaan gerai baru Carrefour justru menurun jumlahnya. ”Tahun 2006 Carrefour Indonesia membuka sembilan gerai. Tahun-tahun berikutnya tak sebanyak itu,” katanya.
Saat ini jumlah gerai yang di bawah manajemen Carrefour Indonesia ada 46 gerai, sementara yang di bawah PT Alfa Retailindo Tbk berjumlah 33 gerai. Carrefour mengakuisisi Alfa Retailindo.
Keluhan dari kalangan pedagang di pasar tradisional atas gencarnya penetrasi ritel modern sudah sering dilontarkan. Di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, misalnya, hampir semua pedagang di pasar itu mengeluhkan turunnya omzet mereka sejak ritel dan pasar modern berdiri di sepanjang Jalan Malioboro, yang menjadi lokasi Pasar Beringharjo.
Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Provinsi DI Yogyakarta menyebutkan, dalam periode tahun 2002-2006 jumlah pasar modern di DIY tumbuh lebih dari 55 persen. ”Omzet pedagang pasar tradisional rata-rata turun 35 persen dibanding tahun 2006,” kata Ketua Forum Silaturahmi Peguyuban Pasar Seluruh Kota Yogyakarta Ujun Junaedi.
Hasil kajian Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, kehadiran satu toko ritel waralaba modern membuat setidaknya omzet 14 pedagang grosir merosot, apalagi saat ini banyak pasar dan ritel modern yang didirikan di dekat pasar tradisional. ”Bahkan, satu toko swalayan yang menyediakan aneka komoditas kebutuhan rumah tangga berdiri tepat di belakang Beringharjo. Pedagang Beringharjo sempat berang, tapi tak bisa berbuat apa-apa,” kata Ujun.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan potensi bagi pasar ritel. Apalagi, kata Tutum, gaya hidup masyarakat dalam berbelanja mulai beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Dengan demikian, mengembangkan pasar ritel modern adalah peluang bisnis yang menjanjikan.
”Dan setiap pebisnis ritel selalu berdalih bahwa untuk pengembangan usaha dibutuhkan dana segar. Ironisnya tidak ada investor lokal yang kuat bersaing dengan asing. Akibatnya, kepemilikan saham sedikit demi sedikit dimiliki investor asing,” kata Tutum.
Oleh karena itu, jika ingin melindungi pedagang ritel tradisional, kuncinya ada pada regulasi pemerintah. ”Semestinya Indonesia menerapkan sistem investasi dengan perencanaan yang matang, seperti di China. Investor asing bukan hanya harus bermitra dengan pengusaha lokal, tetapi juga menerapkan sistem deposit sebelum rencana bisnis dilakukan,” tutur Tutum.
Dengan aturan itu, lanjut Tutum, kalau investor asing berencana membuka toko, nilai investasi yang harus dideposit sudah ditentukan terlebih dahulu. Uang deposit itu dapat digunakan sebagai jaminan apabila kebijakan pemerintah menyangkut usaha kecil dan menengah (UKM) sebagai pemasok pasar modern dilanggar oleh investor asing.
Pentingnya regulasi pemerintah juga disampaikan Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (DPD Aprindo) Jawa Tengah Budi Handojo Soeseno. Regulasi itu tidak hanya untuk menciptakan persaingan bisnis yang adil, tetapi juga untuk mencegah timbulnya gesekan sosial. Peran pemerintah daerah dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan mencegah gesekan sosial, menurut Budi, sangat besar.
Aturan sudah banyak
Sebenarnya peraturan yang mengatur tentang usaha ritel telah cukup banyak. Di tingkat pusat saja setidaknya ada 10 peraturan yang mengatur tentang usaha ritel, mulai dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 118 Tahun 2000 tentang Perubahan dari Keppres No 96/2000 tentang Sektor Usaha yang Terbuka dan Tertutup dengan Beberapa Syarat untuk Investasi Asing Langsung hingga yang terbaru, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern dan Permendag No 53/2008 tentang Pedoman Penataan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
Bahkan, menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, sudah ditetapkan aturan tentang investasi asing di sektor usaha ritel.
”Investor asing hanya boleh masuk di level hipermarket dan supermarket. Luas lahan di atas 1.200 meter persegi, di bawah itu hanya boleh franchise (waralaba) atau waralaba milik orang Indonesia. Untuk minimarket, ada aturan jam buka, yaitu pukul 10.00-22.00. Sementara orang ke pasar hanya sejak subuh hingga sekitar pukul 08.00,” kata Mari.
Namun, kenyataannya aturan jam buka bagi minimarket itu tidak berlaku. Banyak minimarket yang sudah beroperasi sejak pukul 07.00. Bahkan, ada sejumlah minimarket yang kini buka 24 jam dan menjual komoditas segar, seperti sayuran dan bahan pangan lain yang dijual di pasar tradisional.
Peraturan memang sudah cukup banyak, bahkan masih ditambah dengan berbagai peraturan daerah (perda). Kota Solo, misalnya, saat ini menyiapkan dua perda tentang pasar tradisional dan perda tentang pasar modern.
Dalam rancangan perda tentang pasar tradisional, misalnya, diatur kepemilikan kios masing-masing pedagang tak boleh lebih dari empat dan persentase antara jumlah kios dan lapak 70 persen berbanding 30 persen.
Adapun dalam rancangan perda tentang pasar modern, menurut anggota DPRD Kota Solo, Swantinawati, diatur antara lain tentang zonasi daerah, jarak pasar modern dengan pasar tradisional. Namun, faktanya, pasar tradisional tetap terpojok. (Kompas, 15 Maret 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar